Senin, 29 Februari 2016

Jawa Barat Masih Menjadi Primadona Investor di 2015

Mitrapolisi// JAKARTA - Provinsi Jawa Barat masih menjadi tujuan favorit para investor, baik asing maupun domestik untuk menanamkan investasinya pada tahun 2015 lalu. Hal ini terungkap dalam dialog nasional yang digelar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Harian Bisnis Indonesia yang mengambil tema "Meningkatkan Peran Sektor Keuangan Dalam Percepatan Pembangunan Ekonomi Daerah" di Singosari Poolside Hotel Borobudur, Jl. Lapangan Banteng Jakarta, Senin (29/2/16).

Dalam dialog tersebut, Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengungkapkan dalam materi presentasinya "Review Perekonomian Indonesia" bahwa realisasi investasi langsung di Jawa Barat mencapai Rp 103,1 Triliun melebihi target investasi tahun 2015 sebesar Rp 95 Triliun.

“Jawa Timur menjadi provinsi dengan nilai investasi yang berasal dari dalam negeri terbesar sepanjang 2015, dengan nilai investasi sebesar Rp 35,5 Triliun. Disusul Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Untuk investasi Asing (PMA), provinsi dengan porsi terbesar adalah Jawa Barat dengan Rp 76,8 Triliun,” kata Ryan dalam dialog yang juga turut dihadiri Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) sebagai salah satu narasumber.



Tercatat dari data yang berasal dari BKPM tahun 2016, Jawa Barat mendapat total nilai investasi sebesar Rp 103,1 Triliun lebih dengan rincian investasi asing (FDI) yang masuk sebesar Rp 76,8 Triliun lebih dan investasi yang beradal dari dalam negeri (DDI) sebesar Rp 26,2 Triliun lebih. Sementara Jawa Timur menempati urutan kedua dengan total nilai investasi sebesar Rp 70,2 Triliun dengan FDI sebesar Rp 34,7 Triliun lebih dan DDI sebesar Rp 35,4 Triliun lebih. Dan posisi ketiga ditempati DKI Jakarta dengan total nilai investasi Rp 63,9 Triliun dengan FDI sebesar 48,4 Triliun lebih dan DDI sebesar Rp 15,5 Triliun lebih.

Sementara itu, ditemui usai dialog Gubernur Ahmad Heryawan mengharapkan agar kegiatan ekonomi nasional, khususnya di Jawa Barat terus meningkat - termasuk aliran investasi baik dari dalam maupun luar negeri terus mengalir. Menurutnya, hal tersebut harus didukung oleh rendahnya suku bunga acuan dari Bank Indonesia (BI Rate). Seperti diketahui bahwa BI Rate saat ini (per 18 Februari 2016) berada di level 7.00% (Sumber: www.bi.go.id).

“Dampak dari suku bunga yang masih tinggi itu adalah investasi menjadi tidak bergairah. Kalau tidak bergairah tentu produksi juga menjadi rendah dan yang dikonsumsi masyarakat jadi lebih sedikit. Ditambah suku bunga juga - khawatir - sedikit banyak berpengaruh pada kemampuan konsumsi. Kita bayangkan kalau kemampuan konsumsi rendah kemudian pada saat yang bersamaan juga investasi rendah dan tidak bergairah, pertumbuhan (ekonomi) juga menjadi rendah,” papar Aher usai dialog.

Selain berdampak pada pertumbuhan ekonomi, menurut Aher suku bunga tinggi juga akan berpengaruh pada nasionalisme masyarakat terhadap dunia perbankan nasional. “Dan bahaya juga secara nasionalisme ya, karena kalau suku bunga itu tinggi jangan-jangan bank asing laku di Indonesia. Bank sendiri kemudian diabaikan oleh masyarakat kita sendiri,” kata Aher.

Untuk itu, Aher ingin Bank Indonesia serta para pihak terkait lainnya agar bisa mengkaji penyebab dari BI Rate yang masih tinggi tersebut. Karena apabila dibandingkan dengan negara Asean lainnya BI Rate memiliki nilai paling tinggi.

Acara dialog nasional ini dibuka oleh Menteri Desa, PDT & Transmigrasi Marwan Jafar yang mengantarkan makalah berjudul “Revitalisasi Peran Sektor Keuangan Dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal”, serta dihadiri Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad sebagai keynote speech. Turut hadir sebagai narasumber yaitu Anggota Dewan Komisioner OJK Nelson Tampubolon, Wakil Walikota Pasuruan Jawa Timur Raharto Teno Prasetyo, Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani. Hadir pula Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Arif Budisusilo sebagai moderator, perwakilan dunia perbankan nasional, serta para peserta dialog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar